Fundamentalisme berasal dari bahasa
Latin fundamentum yang berarti dasar atau sendi. Istilah tersebut
digunakan untuk menyebut orang-orang yang meyakini hal-hal yang
fundamental dalam agama. Setiap muslim sesuai pengertian ini merupakan
fundamentalis karena beriman kepada hal-hal yang menjadi dasar atau
sendi agama Islam. Munculnya istilah fundamentalisme untuk pertama kali
adalah penyebutan yang ditujukan kepada gerakan konservatif-militan
dalam agama Kristen yang mengemuka di Amerika Serikat pada tahun
1920-an.
Fundamentalisme berasal
dari bahasa Latin fundamentum yang berarti dasar atau sendi. Istilah
tersebut digunakan untuk menyebut orang-orang yang meyakini hal-hal yang
fundamental dalam agama. Setiap muslim sesuai pengertian ini merupakan
fundamentalis karena beriman kepada hal-hal yang menjadi dasar atau
sendi agama Islam. Munculnya istilah fundamentalisme untuk pertama kali
adalah penyebutan yang ditujukan kepada gerakan konservatif-militan
dalam agama Kristen yang mengemuka di Amerika Serikat pada tahun
1920-an.
Mereka menekankan kebenaran Bible dan menolak setiap temuan
sains modern yang dianggap bertentangan dengan ajaran Kristen. Padahal,
sains modern justru telah membawa masyarakat Barat pada kemajuan. Karena
itu, kehadiran kaum fundamentalis merupakan oposan dari gereja ortodoks
terhadap kemajuan sains modern yang dituduh merusak sendi-sendi
fundamental dalam agama Kristen. Mengingat karakter konservatifnya yang
berpegang teguh pada ortodoksi agama Kristen, fundamentalisme seringkali
dikonfrontasikan dengan modernisme yakni aliran yang mengutamakan
setiap yang baru sebagai konsekuensi perkembangan sains modern (Asep
Syamsul, 2000 : 29-30).
Setelah revolusi Islam Iran (1979), istilah
fundamentalisme mulai diterapkan para orientalis dan pakar ilmu sosial
untuk mengkaji gerakan-gerakan sosial dan politik yang muncul dalam
Islam dengan asumsi bahwa berbagai penomena gerakan sosial dan politik
itu memiliki kesemaan karakteristik dengan gejala fundamentalisme di
dunia Barat. Mereka menggunakan istilah tersebut untuk menggeneralisasi
berbagai gerakan sosial, politik dan keagamaan sejalan dengan munculnya
gelombang yang disebut kebangkitan (revivalisme) Islam (Azyumardi Azra,
1996 : 107). Istilah fundamentalisme juga seringkali digunakan secara
tidak seimbangan dan tidak netral, bahkan cendrung memiliki makna
labelisasi dan penyebutan yang bersifat mapan terhadap fenomena gerakan
dalam kehidupan sosial, politik dan keagamaan. Dari beberapa kajian yang
dilakukan oleh para ahli, istilah tersebut cendrung memiliki makna
negatif untuk memberikan gambaran buruk dan menyudutkan kelompok yang
diasumsikan sebagai gerakan fundamentalis. Fazlur Rahman (1979 : 164),
misalnya, menyebutkan fundamentalisme Islam sebagai orang yang dangkal,
superfisial, dan anti intelektual yang pemikiran-pemikirannya tidak
bersumber kepada al-Qur’an dan tradisi Islam klasik. Nurcholish Madjid
(1992 : 586) juga memberikan penilaian yang pejoratif dan kurang netral
dan menyebut fundamentalisme Islam sebagai sumber kekacauan dan penyakit
mental yang menimbulkan akibat yang lebih buruk dibandingkan dengan
masalah-masalah sosial yang sudah ada, seperti minuman keras dan obat
terlarang. Untuk beberapa kasus tertentu, stigmasi fundamentalisme Islam
terhadap gerakan yang muncul dalam masyarakat Islam mungkin ada
benarnya karena berangkat dari fakta-fakta empirik yang menunjukkan
warna gerakan yang cendrung puritan, radikal dan ekstrim. Tetapi,
labelisasi fundamentalisme Islam yang bersifat sinisme itu digunakan
secara mapan dan tidak berubah-rubah untuk menggeneralisasi semua
fenomena gerakan sosial, politik dan keagamaan dalam Islam jelas
merupakan simplikasi yang keliru. Istilah fundamentalisme Islam
kadangkala juga dipakai secara overlapping dengan istilah radikalisme
dan revivalisme. John L. Esposito (1994 : 17) lebih suka menggunakan
istilah revivalisme untuk menyebut gerakan sosial, politik dan keagamaan
dalam Islam. Sebutan fundamentalisme Islam, kata John L. Esposito,
terlalu dibebani oleh praduga Kristen dan stereotip Barat yang
menyiratkan ancaman monolitik yang tidak pernah ada dalam realitas
empirik masyarakat Islam. Meskipun demikian, istilah fundamentalisme
Islam tetap dipergunakan dalam makalah ini. Fundamentalisme Islam
dimaknai sesuai dengan penjelasan dan batasan yang diberikan oleh
Jamhari dan Jajang Jahroni (2004 : 3-4) yaitu suatu gerakan sosial,
politik dan keagamaan yang memiliki keyakinan ideologis kuat dan fanatik
yang selalu mereka perjuangkan untuk mengganti tatanan nilai dan sistem
yang sedang berlangsung. Upaya memperjuangkan ideologi itu seringkali
meraka lakukan melalui aksi-aksi radikal, militan dan ekstrim, bahkan
tidak menutup kemungkinan berperilaku kasar terhadap kelompok lain yang
bertentangan dengan paham mereka.
Kemudian, kerangka yang dibuat
sosiolog, marty, yang sudah dimodifikasi Azyumardi Azra ( 1996 :
109-110) agaknya juga sangat compatible diterapkan dalam tulisan ini.
Pertama, kaum fundamentalis mengambil sikap perlawanan secara radikal
terhadap ancaman yang dipandang mengancam eksistensi agama. Kedua,
mereka menolak hermeneutika atau sikap kritis terhadap teks dan
interpretasinya. Teks kitab suci mesti dipahami secara literal
sebagaimana adanya karena nalar dipandang tidak mampu memberikan
penafsiran yang tepat. Ketiga, penolakan terhadap perkembangan historis
dan sosiologis. Kaum fundamentalisme berpandangan bahwa perkembangan
historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin
literal kitab suci. Dalam hubungan ini, masyarakat dan perkembangannya
harus disesuaikan dengan kitab suci, kalau perlu dengan kekerasan dan
bukan sebaliknya.
B. AKAR SOSIO-HISTORIS KEMUNCULAN KHAWARIJ
Setelah
terbunuhnya Usman bin Affan, masyarakat Islam dari golongan Muhajirin
dan Anshor berulang kali mendatangi Ali bin Abi Thalib dan meminta
kesediannya menjadi khalifah. Permintaan tersebut selalu ditolak oleh
Ali karena persoalan siapa yang menjadi khalifah tegas Ali sebaiknya
diselesaikan lewat musyawarah sehingga memperoleh legitimasi dari
sahabat-sahabat termuka di Madinah ketika itu. Tetapi, karena masyarakat
Madinah seringkali mendesak Ali dan menyebutkan bahwa masyarakat Islam
perlu segera memiliki seorang pemimpi sehingga tidak terjadi kekacauan
yang lebih besar, akhirnya Ali luluh juga dan bersedia menduduki jabatan
khalifah. Ketika diangkat sebagai khalifah, kekuatiran Ali menjadi
kenyataan karena sebagian masyarakat Islam tidak menyampaikan janji
setia (baiat) kepada dirinya. Ia hanya dibaiat oleh mayoritas masyarakat
Madinah yang terdiri dari golongan Muhajirin dan Anshor. Beberapa
sahabat senior seperti Abdullah bin Umar, Saad bin Abi Waqqas, Hasan bin
Tsabit dan Abdullah bin Salam yang ketika itu berada di Madinah belum
mau ikut membaiat Ali. Mereka baru mau membaiat Ali jika semua umat
Islam sudah menyatakan baiat (J. Suyuthi Pulungan, 1997 : 152). Karena
itu, Ali diangkat sebagai khalifah tidak berdasarkan konsensus karena
masyarakat Islam sebagai sistem sosial yang tersusun dari unsur yang
memiliki peran yang saling berhubungan tidak saling melengkapi dan
mengisi dalam menentukan eksistensi kehidupan bernegara untuk mencapai
tujuan yang sama. Implikasinya, instabilitas sosial dan politik dalam
tubuh masyarakat Islam sulit dielakkan pada masa pemerintahan Ali bin
Abi Thalib. Salah seorang tokoh yang menolak membaiat Ali dan mengambil
sikap konfrontatif adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam. Sikap
Muawiyah berujung pada terklasifikasinya masyarakat Islam kepada dua
kelompok besar yakni pendukung Ali dan Muawiyah. Situasi sosial demikian
menggambarkan bahwa instabilitas sosial dan politik dalam masyarakat
Islam sudah semakin mengkuatirkan dan nasib Ali sebagaimana disebutkan
oleh Ahmad Syalabi (1997 : 306) tak obahnya bagaikan orang yang menambal
kain usang, jangan menjadi baik malah bertambah sobek, mengingat selama
masa pemerintahannya stabilitas sosial dan politik hampir tidak pernah
dialami barang satu haripun.
Salah penyebab konflik politik dalam
masyarakat Islam pada masa pemerintahan Ali adalah bergelutnya beberapa
kepentingan dari kelompok sosial yang ada. Muawiyah bin Abi Sufyan yang
sangat berambisi menjadi khalifah yang telah dirintisnya sejak menduduki
jabatan gubernur Syam selalu menuntut Ali untuk mencari dan mengadili
orang yang membunuh khalifah Usman. Sebuah tuntutan yang kelihatannya
suci untuk mencari keadilan ternyata mengandung dimensi kepentingan
kekuasaan yang membawa pada konfrontasi terbuka terhadap Ali dan
pendukungnya. Sikap konfrontatif Muawiyah semakin menguat setelah Ali
bin Abi Thalib mengambil kebijakan untuk mengganti semua gubernur yang
diangkat oleh Usman bin Affan, termasuk Muawiyah sendiri, dengan para
pejabat baru. Kebijakan Ali yang pada awalnya ingin mengembalikan
keadaan dan citra pemerintahan seperti pada zaman Abu Bakar Shiddiq dan
Umar bin Khattab, justru memancing kemarahan keluarga Bani Umaiyah dan
mendorong mereka membangun kekuatan untuk melawan Ali. Dalam waktu
bersamaan muncul pula kelompok sosial baru koalisi Aisyah, Thalhah dan
Zubeir yang beroposisi terhadap Ali dengan motif yang sama dengan
Muawiyah yaitu menuntut keadilan atas kematian Usman bin Affan (Jamal
Ahmad, 1984 : 42).
Konfrontasi koalisi Aisyah, Thalhah dan Zubeir
terhadap Ali membawa kepada perperangan Jamal (36 H) yang dimenangkan
oleh kelompok Ali. Sedangkan konfrontasi Muawiyah dan pendukungnya
berujung pula pada perperangan Shiffin (37 H) yang harus diakhiri dengan
tahkim atas permintaan pihak Muawiyah.
Pada perperangan Shiffin,
pasukan Ali sebenarnya mampu mendesak pasukan Muawiyah dan mereka hampir
saja memperoleh kemenangan. Tetapi, kesempatan itu hilang disebabkan
strategi yang dimainkan oleh Amru bin ‘Ash, yang mengangkat al-Qur’an
sebagai tanda meminta perdamaian. Para Qurra yang berada di pihak Ali
mendesak dirinya untuk menerima tawaran itu. Akibatnya, pertikaian
politik antara Ali dan Muawiyah menempuh jalan damai dengan cara
bertahkim (arbitrase). Sebagai pengantara dari masing-masing kelompok
yang sedang bertikai ditunjuklah Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali dan
Amru bin ‘Ash dari pihak Muawiyah. Kedua sepakat untuk melengserkan Ali
dan Muawiyah dari jabatan khalifah.
Ketika hasil tahkim diumunkan
kepada masyarakat Islam, Abu Musa al-Asy’ari menyebutkan bahwa sesuai
dengan kesepakatan majlis tahkim, maka Ali dan Muawiyah diturunkan dari
jabatannya. Amru bin ‘Ash menyampaikan hal yang berbeda dari kesepakatan
yang sudah dibuat dan mengumumkan hanya Ali yang turun dari jabatan dan
Muawiyah tidak. Keputusan yang disampaikan oleh Amru bin ‘Ash membuat
tahkim bukannya menyelesaikan ketegangan untuk mencara perdamaian antara
Ali dan Muawiyah melainkan ketegangan semakin menguat yang membawa
kepada terjadinya dualisme pemerintahan.
Pasca tahkim, mayoritas umat
Islam tetap mengakui Ali sebagai khalifah dan dua bulan berikutnya
diiringi pula oleh Muawiyah yang memproklamirkan diri sebagai khalifah.
Karena merasa ditipu, Ali bin Abi Thalib tidak mau meletakkan jabatan
khalifah hingga akhirnya hayatnya (Harun Nasution, 1986 : 4). Hasil
tahkim yang tidak adil juga mendapat protes dan kecaman dari sebagian
pendukung Ali. Mereka bukan hanya tidak setuju dengan keputusan majlis
tahkim melainkan juga menyatakan keluar dari kelompok Ali. Kelompok yang
keluar inilah yang sangat populer dengan sebutan kaum Khawarij. Karena
itu, munculnya kaum Khawarij dalam perspektif sosio-historis adalah
refleksi dari kekecewaan kepada hasil tahkim yang tidak adil. Atas nama
kepentingan, tahkim tidak mampu mengakomodasi kepentingan semua
masyarakat Islam. Mereka juga kecewa terhadap Ali yang mau menerima
ajakan Muawiyah untuk menyelesaikan pertikaian politik dengan cara
bertahkim.
Sebagai refleksi kekecewaan, lebih-kurang 1200 orang kaum
Khawarij sebagamana dikatakan oleh Abdul Aziz Dahlan (2001 :42)
berkumpul di Harura untuk menyusun barisan dan mengangkat Abdullah bin
Wahab al-Rasibi sebagai pemimpin. Dengan diangkatnya Abdullah bin Wahab
al-Rasibi sebagai pemimpin oleh kaum Khawarij berarti bertambah pula
kelompok sosial baru yang menjadi kekuatan sosial politik pasca
peristiwa tahkim yang melakukan gerakan sosial dan politik sesuai
kepentingan mereka.
C. GERAKAN FUNDAMENTALISME KHAWARIJ
Labelisasi
fundamentalisme Islam terhadap gerakan kaum Khawarij agaknya terlalu
sulit untuk dielakkan, mengingat sikap perlawanan yang mereka ambil
pasca peristiwa tahkim mengaktual dalam bentuk aksi-aksi radikal,
ekstrim dan bertolak-belakang dengan kelompok mayoritas umat Islam.
Mereka seringkali terlibat dalam pemberontakan dan tindakan kekerasan
pada masa pemerintahan Ali, Daulah Bani Umaiyah dan Abbasiyah. Kehadiran
mereka menjelma sebagai kelompok garis keras yang dalam mencapai tujuan
tertentu hampir tidak mengenal kompromi. Dalam hubungan ini, sebagian
dari karakteristik fundamentalisme Islam sebagaimana yang sudah
disinggung sebelumnya sangat melekat pada setiap gerakan yang dilakukan
oleh kelompok Khawarij.Kaum Khawarij yang disebut sebagai
fundamentalisme Islam klasik dalam menyikapi hasil tahkim melakukan
gerakan perlawanan terhadap kekuasaan dengan cara keluar dari kelompok
Ali dan membangun prinsip-prinsip perjuangan yang radikal dan ekstrim.
Bagi mereka, semboyan tiada hukum selain hukum Allah yang dikutip dari
surat al-Maidah ayat 44 merupakan landasan idiologis yang berharga mati
dan mesti diperjuangkan di manapun dan kapanpun. Sebagai bentuk gerakan
memperjuangkan idiologis, mereka mengkafirkan Ali dan Muawiyah karena
sudah menyelesaikan konflik dengan cara bertahkim yang tidak sesuai
dengan hukum Tuhan (Abdul Aziz Dahlan, 2001 : 46-47).
Tidak puas
dengan hanya mengkafir Ali dan Muawiyah, mereka memandang kafir pula
setiap orang yang tidak sepaham dengan mereka dan menurut sikap radikal
mereka orang tersebut halal darahnya untuk ditumpahkan. Tuduhan kafir
yang ditujukan terhadap Ali, Muawiyah dan orang tidak sepaham dengan
mereka sekalipun tidak lagi termasuk dalam diskursus politik karena
sudah merambah masuk ke dalam wilayah teologis, kehadiarnnya tetap saja
sebagai respon yang mengambil sikap perlawanan terhadap kekuasaan yang
masih berlangsung dan berfungsi untuk melegitimasi aksi-aksi radikal
mereka. Dalam dunia politik, kondisi seperti itu lumrah terjadi di mana
orang atau kelompok yang merasa tidak puas dengan suatu keputusan
politik mengambil sikap yang berlawanan (oppositinalism) dan bernaung di
balik nilai-nilai suci agama untuk melegitimasi tindakannya. Fenomena
ini terlihat secara jelas pada setiap gerakan kaum Khawarij setelah
mengetahui hasil penyelesaikan sengketa politik perang Shiffin melalui
majlis tahkim.
Radikalisme pemikiran sebagai karakteristik
fundamentalisme yang djumpai di kalangan kaum Khawarij bermula dari
pemahaman yang dangkal dan literalis terhadap kitab suci al-Qura’n.
Kecendrungan tersebut tergambar dari komentar Abu Zahrah (t.t : 77) yang
menyebutkan bahwa selain surat al-Maidah ayat 44 mereka juga
menggunakan surat Ali Imran ayat 97 yang menjelaskan tentang kewajiban
ibadah haji untuk mengkafirkan orang yang tidak sepaham dengan mereka.
Ayat ini dipahami oleh kaum Khawarij secara harfiyah (literal) untuk
mengkafirkan semua orang yang belum melaksanakan ibadah haji. Padahal,
ayat tersebut tegas Abu Zahrah menyebutkan bahwa sifat kafir hanya bisa
ditujukan kepada mereka yang mengingkari kewajiban ibadah haji.
Sikap
skripturalistik yang menjadi karakteristik kaum fundamentalisme Islam
klasik (Khawarij) mendorong mereka untuk memahami doktrin agama dengan
cara berlebihan-lebihan (ekstrim) dan biasnya mereka melakukan tindakan
kekerasan yang bertentangan dengan missi kitab Suci. Gerakan
mengkafirkan Ali, Muawiyah dan mereka yang tidak sepaham merupakan
gambaran dari sikap ekstrim kaum Khawarij. Faktor yang mewarnai
pemikiran mereka adalah lingkungan geografis dari mana mereka berasal.
Mereka menurut Abu Zahrah (t.t, : 35) merupakan orang-orang Arab Baduwi
yang berpikir sederhana dan berwatak keras, serta hidup secara nomaden
di lingkungan geografis padang pasir yang panas dan gersang.
Masyarakat
Arab Baduwi kata Ahamad Syalabi (1992, : 347) suka memberontak dan
berperang meskipun karena sebab-sebab yang irrasional. Salah satu kasus
adalah perperangan Basus yang berlangsung selama bertahun-tahun dan
menelan korban yang tidak sedikit. Penyebabnya adalah karena Kulaib bin
Rabi’ah, kepala suku Taghlib, memanah seekor unta kepunyaan Jassas bin
Murrah. Karena tidak memaafkannya, Jassas membunuh Kulaib. Padahal
Kulaib sendiri adalah suami saudara perempuan Jassas.
Di samping
sikap skripturalistik, kaum Khawarij mengambil sikap perlawanan secara
radikal terhadap Ali dan para pendudukungnya. Pasca persitiwa tahkim,
mereka seperti diungkap oleh Ahmad Salabi (1992 : 318-319) mulai
menyusun strategi untuk melakukan pemberontakan dan konfrontasi terbuka
terhadap pendukung Ali yang berujuang pada perperangan di Nahrawan,
sebuah daerah yang terletak dekat Baghdat. Sekalipun perperangan
dimenangkan oleh pihak Ali, namun tidaklah mengurangi semangat gerakan
kaum fundamentalisme Islam klasik itu untuk melakukan pemberontakan dan
kekerasan. Sebaliknya, kekalahan melahirkan dendam yang semakin besar
kepada Ali karena mengingat apa yang sudah dialami oleh saudara-saudara
mereka di Nahrawan.
Puncak dari kemarahan tersebut, mereka menyusun
strategi untuk membunuh Ali, Muawiyah dan Amru bin ‘Ash yang mereka
anggap paling bertanggungjawab terhadap hasil tahkim yang tidak adil.
Pembunuhan Ali, Muawiyah dan Amru bin ‘Ash yang dianggap oleh kaum
Khawarij sebagai tugas suci dan diserahkan kepada tiga orang.
Masing-masing mereka menurut Ahmad Syalabi (1997 ; 306-307) adalah
Abdurrahman bin Muljam yang berangkat ke Kaufah untuk membunuh Ali,
Barak bin Abdillah al-Tamimi pergi ke Syam untuk membunuh Muawiyah dan
Amru bin Bakar al-Tamimi pergi ke Mesir untuk membunuh Amru bin ‘Ash. Di
antara mereka hanya Abdurrahman bin Muljam yang behasil membunuh Ali
dengan cara menusuknya dengan pedang ketika beliau hendak melaksanakan
shalat Shubuh. Barak bin Abdillah al-Tamimi juga berhasil menikamkan
pedangnya ke tubuh Muawiyah meskipun tidak berujung kepada kematian.
Sedangkan Amru bin Bakar al-Tamimi gagal menjumpai Amru bin ‘Ash di
Mesir.
Pada masa pemerintahan Ali, kaum Khawarij seringkali melakukan
tindakan kekerasan dan merampas harta-harta orang-orang menentang
gerakan mereka. Kaum Khawarij juga membolehkan untuk membunuh siapa saja
dari masyarakat Islam yang tidak mau bergabung dengan mereka. Salah
seorang yang menjadi korban kekerasan mereka dalah Abdullah bin Kabbab
yang mengakhiri hidupnya dengan cara dibunuh. Ali pernah meminta kepada
kaum Khawarij untuk menyerahkan orang membunuh Abdullah bin Kabbab.
Tetapi, mereka menyembunyikannya dan mengatakan kepada Ali bahwa mereka
semua ikut terlibat dalam pembunuhan itu (Ahmad Syalabi, 1992 :
317-319).
Setelah Ali terbunuh, beberapa tindakan radikal tetap
dilakukan oleh kaum Khawarij pada masa pemerintahan Daulah Bani Umaiyah.
Salah satu bentuk perlawanan kaum Khawarij yang dianggap gemilang
terhadap kekuasaan Daulah Bani Umaiyah adalah sepeninggal Muawiyah bin
Abi Sufyan sekitar tahun enam puluh Hijriyah. Mereka mengangap dengan
meninggalnya Muawiyah berarti belenggu yang membatasi gerak mereka sudah
lepas. Di samping itu, muncul pula kegoncangan situasi sosial dan
politik dalam kehidupan umat Islam sepeninggal Muawiyah. Situasi
demikian dimanfaat oleh pemimpin kaum Khawarij, Nafi’ bin Azraq, untuk
memperoleh pengaruh dan kesuksesan yang besar. Ia berhasil menaklukan
daerah Ahwaz dan berhasil menegakkan kekuasaan di Aswad, Basrah (Ahmad
Syalabi, 1992: 324). Nafi’ bin Azraq juga berhasil memasuki kota Basrah
dan menghancurkan penjara untuk membebaskan orang-orang Khawarij yang
ditahan sebagai tawanan perang oleh Bani Umaiyah.
Selama belasan
tahun terjadi banyak pertempuran sengit antara kaum Khawarij dan pasukan
Bani Umaiyah. Kalau tidak terjadi perpecahan dalam tubuh mereka tegas
Abu Zahrah (t.t. : 80) pertarungan terhadap Bani Umaiyah akan berjalan
lebih lama lagi.
Sikap perlawanan yang diambil oleh kaum Khawarij
pada masa Daulah Bani Umaiyah masih memiliki hubungan dengan kekecewaan
mereka terhadap Muawiyah bin Abi Sufyan pada peristiwa Tahkim. Lawet
semboyan tiada hukum selain hukum Tuhan, mereka sudah mengkafirkan
Muawiyah dan menghalalkan darahnya untuk dibunuh. Sesuai dengan
pandangan politik mereka, kaum Khawarij menyebut pemerintahan Daulah
Bani Umaiyah adalah pemerintahan yang tidak sah. Para penguasa mereka
tidak dipilih oleh masyarakat Islam ketika itu (J. Suyuthi Pulungan :
199). Pandangan yang sama mereka gunakan pula pada masa berikutnya untuk
meligitimasi tindakan mereka yang radikal dan ekstrim pada masa Daulah
Bani Abbasiyah.
Sebagai aliran sempalan, sikap perlawanan yang
dilakukan oleh kelompok Khawarij memang sangat literal, radikal, militan
dan ekstrim. Beberapa karakteristik fundamentalisme sangat melekat pada
setiap gerakan yang mereka dilakukan. Karena itu, penyebutan
fundamentalisme Islam terhadap gerakan yang dilakukan oleh kaum Khawarij
sangat beralasan.